Jurnalis Perang Yang Menceritakan Kisah Tentang Revolusi Indonesia
Jakarta - Sebagai salah satu pusat konflik kala itu, Indonesia banyak didatangi para pemburu berita dari seluruh dunia. Tulisan panjang itu bisa jadi merupakan salah satu laporan terbaik sepanjang zaman dari majalah National Geographic (NG).
Adalah jurnalis Ronald Stuart Kain yang sejak awal 1948 meliput gejolak perang di tanah Jawa. Dalam coretan penanya di majalah NG edisi 93 (Mei 1948), dia memaparkan detil-detil perang antara pejuang Indonesia melawan para serdadu Belanda.
Begitu memukau. Dengan deskriptis, Kain menuliskan juga latar
belakang situasi sosial politik yang terjadi. Suasana revolusioner dan kecamuk perang pun tak dilewatkannya: para
pengungsi yang berdesakan di kereta api, para anggota lasykar berambut
gondrong yang hilir mudik di stasiun - stasiun kereta api, serta keluhan
para serdadu muda yang muak akan perang dan rindu kampung halaman.
Rosihan Anwar pernah memuji Kain sebagai jurnalis yang rajin memunguti
serpihan-serpihan kisah di balik Perang Kemerdekaan (1945-1949). Namun
menurut wartawan legendaris tersebut, pada period itu bukan hanya Kain
yang berkiprah di Indonesia. Dia menyebut nama Alfren van Sprang sebagai
salah satunya.
"Fred (panggilan akrab Alfred van Sprang), jurnalis berkebangsaan
Belanda yang sangat pro pemerintah Belanda. Tak aneh jika saya pernah
berpolemik dengannya,"ungkap Rosihan.
Alfred van Sprang merupakan jurnalis perang terkemuka yang pernah
bertugas di Indonesia (1946-1949). Dia tercatat sebagai jurnalis yang
bekerja untuk kantor berita Amerika Serikat, United Pers.
Sebagai warga
negara Belanda, Sprang memiliki akses istimewa dalam setiap gerakan
militer Belanda di Indonesia. Rekaman reportasenya selama melekat pada
Divisi 7 Desember di Jawa, dia catat dalam sebuah buku berjudul Wij
Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil).
Pada saat Aksi Polisional I (pihak Indonesia menyebutnya Agresi
Pertama), Sprang mengikuti pergerakan pasukan Belanda dari Klender
menuju Karawang. Dia melaporkan jalannya pertempuran antara pejuang
Indonesia dengan tentara Belanda nyaris dari front ke front.
Salah satu
laporannya yang paling impresif adalah saat dia menjadi saksi mata
keuletan pasukan HMOT (milisi bumiputera yang direkrut dari kalangan
penjahat dan eks pejuang Indonesia) saat bertempur melawan sebuah
batalyon TNI bernama Beruang Merah.
Ada tiga nama jurnalis lain dari Belanda yang juga turun meliput
revolusi Indonesia. Mereka merupakan fotografer perang yang termasyhur,
yakni Hasselman, Hugo Wilmar dan Charles Brejer.
Berbeda dengan
Hasselman dan Wilmar yang bisa disebut sebagai fotografer yang selalu
melekat dalam gerakan tentara Belanda, Brejer memilih 'jalan netral'.
Karya-karya-nya bahkan bisa dikatakan lebih condong berpihak ke
Republik.
"Brejer banyak menghasilkan foto-foto human interest mengenai
situasi-situasi perang di Jawa, termasuk penderitaan para penduduk
sipil,"ujar Rosihan.
Fotografer asal Prancis Henri Cartier Bresson juga termasuk ciamik
merekam situasi-situasi Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan salah satu essai foto-nya di Majalah LIFE berjudul 'Young Men Are Both The Peril And The Hope' termasuk salah satu laporan
paling bagus mengenai Indonesia era revolusi.
Akses Bresson ke kubu
Republik juga termasuk kuat. Dia termasuk dekat dengan Presiden Sukarno,
Wakil Presiden Mochamad Hatta, Haji Agus Salim dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX.
Liputan revolusi Indonesia tentu saja juga dilakukan oleh
jurnalis-jurnalis lokal. Para jurnalis Indonesia selalu hadir untuk
mengabarkan setiap kejadian dari medan perang. Selain Rosihan Anwar, ada
Mochtar Lubis serta para fotografer IPPHOS: Frans Mendoer, Alex
Mendoer, J.K. Oembas, Alex Mamoesoeng, F.F. Oembas, Abdul Rachman dan
M.Jacob.
Tulisan Rosihan dan Mochtar mewakili suara para pejuang Indonesia.
Mereka menghantam habis setiap sepakterjang Belanda yang brutal dan
tidak mau tahu jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang merdeka.
Selain
Rosihan dan Mochtar, Alex Mendoer dan kawan-kawan juga sangat aktif
melaporkan (lewat foto) situasi perang yang terjadi di Jakarta,
Surabaya, Tangerang, Batavia, Karawang, Bekasi dan Yogyakarta.
"Mendoer bersaudara bahkan merupakan jurnalis-jurnalis yang berhasil
mengabadikan acara pembacaan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945
di Pegangsaan Timur,"ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.
Komentar
Posting Komentar