Kisah Ciri Khas Dari Jenderal Gatot Soebroto

Jakarta - Karena makian khas-nya, hingga kini tak ada seorang pun perwira tinggi TNI yang bisa menyamai keeksentrikan Letnan Jenderal Gatot Soebroto.

Suatu hari di tahun 1960-an, Dasaad dan Hasyim Ning diundang makan pagi oleh Letnan Jenderal Gatot Soebroto di kediamannya.

Begitu duduk di meja makan, Gatot yang memang sudah akrab dengan kedua pengusaha nasional itu tanpa basa-basi langsung menyampaikan maksud.

"Tuan-tuan berdua aku undang, karena aku mau minta bantuan ...".

"Bisa kita makan dulu? Ngomong soal bantuan lebih baik bila kami sudah kenyang, Jenderal,"potong Hasyim Ning, agak menggoda.

"Jangan kaget. Aku tidak minta duit lu, monyet,"jawab Gatot.

"Biar tidak minta duit, kalau bicara sebaiknya habis makan. Kan kami diundang ke sini buat makan pagi,"ujar Hasyim.

"Iya, iya, iyalah ..."jawab Gatot lagi seperti tersua dalam otobiografi Hasyim Ning, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (disusun oleh A.A. Navis).

Menurut Laksamana Pertama (Purn) Iman Sardjono (93) yang sangat mengenal Letnan Jenderal (Purn) Gatot Soebroto, kata 'monyet' yang keluar dari mulut mantan bintara KNIL itu merupakan hal positif.

Sejak muda, Gatot memang sudah terbiasa mengumpat dengan kata 'monyet'. Menurut Laksamana Pertama (Purn) Iman Sardjono (93 ), 'hewan primata' itu lazim keluar dari mulut lelaki brewokan tersebut jika dia tengah sedang gembira dan merasa akrab dengan seseorang.

"Sebaliknya kalau dia bilang 'yang manis-manis dan sopan' itu tandanya dia tengah badmood atau merasa berjarak,"ujar eks anggota Tentara Pelajar di Banyumas itu.

Bagi Iman, Gatot bukanlah orang asing. Sebagai murid sang ayah saat sekolah di HIS (sekolah setingkat SD di age Hindia Belanda), mereka berdua sudah saling mengenal baik sejak awal.

Pernah suatu hari ketika Iman terluka dalam Pertempuran 5 Hari di Semarang (15-- 19 Oktober 1945), dia terpaksa harus beristirahat total selama beberapa bulan.

Alih-alih merasa senang, ketentuan itu malah membuat Iman merasa jenuh. datanglah dia kepada Kolonel Gatot yang saat itu menjadi salah satu pimpinan militer di Banyumas.

"Ada apa, monyet?"tanya Gatot.

Iman lantas mengutarakan niatnya untuk bergabung kembali dengan pasukannya. Gayung bersambut. Kolonel Gatot lalu menempatkan Iman di tim sabotase jembatan sepanjang Banjar Patroman hingga kawasan sekitar Gunung Slamet.

Kebiasaan Gatot itu ternyata tak lekang oleh waktu. Termasuk pada saat dia menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (1956-- 1962).

Alkisah, pada 5 Oktober 1960, diadakanlah resepsi peringatan Hari Angkatan Bersenjata RI yang ke-15 di bekas Gedung Harmoni. Sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (DISPENAL) Mayor Iman Sardjono pun hadir dengan didampingi istrinya, Hanny Sardjono.

Di tengah kekhusyuan acara, tiba-tiba Letnan Jenderal Gatot Soebroto datang, lengkap dengan seragam kebesarannya. Begitu melihat Hanny Sardjono dia langsung mendekat dan langsung mencubit pipi istri Mayor Iman itu dengan kedua tangannya, tanda keakraban.

"Saya yang tak mengenal Pak Gatot tentu saja merasa risih ya,"kenang Hanny yang saat ini berusia 89 tahun.

Gatot kecele. Rupanya dia mengira Hanny adalah Hetty (yang tak lain adalah saudara kembar Hanny), istri dari Letnan Kolonel Poerbo Soewondo yang memang sudah sangat dikenal akrab oleh Gatot. Saat "situasi kritis" itu, Hetty dan Poerbo Soewondo tiba-tiba muncul.

"Nah lo, nah lo, nah lo ..."hanya itu yang bisa diucapkan Hetty kala melihat kejadian salah cubit itu.

Mayor Iman cepat bereaksi. Guna menyelamatkan semua pihak, dia mendekati Gatot sambil membuat sikap salut secara militer.

"Siap Jenderal, ini adalah istri saya!".

"Ah monyet lu!"gerutu Gatot sambil agak malu juga.

Peristiwa itu betul-betul berkesan untuk Hetty dan Iman sepanjang hidup. Hingga kini, jika mendengar atau membahas nama Gatot Soebroto, kisah "salah cubit" itu kerap diceritakannya dalam nada riang dan gembira oleh keduanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengetahui Kisah Sejarah Guillotine, Alat Pengal Kepala Manusia Untuk Eksekusi Mati

Mengetahui Kisah Kehidupan Warga Surabaya Pada Tahun 1850 an, Belum Ada Penerangan Jalan

Kisah Akhir Dari Pertempuran Inggris di Surabaya