Kisah Akhir Dari Pertempuran Inggris di Surabaya

Jakarta - Meleset jauh dari target yang sudah ditetapkan, tentara Inggris baru bisa penuh menguasai Surabaya setelah 23 hari bertahan dalam "neraka" yang panjang. Surabaya sungguh tak berbentuk di awal Desember 1945.

Keadaan kota porak-poranda, mayat-mayat manusia bercampur hewan bergelimpangan di mana-mana. Bau mesiu tercium menyengat bersanding dengan bau busuk dan aroma asap gedung-gedung terbakar.

Di bawah langit yang berwarna kelabu kemerah-merahan, pasukan infanteri Inggris bergerak lambat. Mereka tak berani gegabah lagi untuk melangkahkan kaki.

"Pejuang Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran ...,"ungkap Mayor R.B. Houston dari Batalyon Gurkha Rifles ke-10 dalam What Taken place in Java; Background of the 23rd Division.

Sebagian besar pasukan Indonesia memang sudah mundur ke batas kota. Namun demikian situasi keamanan di kota tersebut belum sepenuhnya pulih. Menurut Moekajat, pasukan Indonesia mundur dengan masih meninggalkan para penembak runduk (sniper) di balik gedung-gedung yang sudah hancur.

"Banyak serdadu Inggris yang mati karena tembakan para sniper kita itu,"ujar eks veteran Pertempuran Surabaya tersebut.

Seolah tak rela pasukan Inggris menguasai kota-nya, masih saja ada unit-unit pasukan Indonesia yang menyelundupkan para prajuritnya ke Surabaya.

Mereka yang sebagian besar berasal dari kesatuan-kesatuan PRI (Pemoeda Republik Indonesia) itu menjalankan aksi-aksi gerilya kota secara sendiri dan nyaris tanpa koordinasi dengan pasukan Indonesia lainnya.

"Mereka bangga merasa dapat mempermainkan pasukan Inggris, yang dari segi keperkasaannya jauh lebih menonjol,"kata Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.

Militer Inggris sendiri sudah menghentikan sama sekali aksi bombardir dan penembakan artileri sejak hari Minggu, 2 Desember 1945. Menurut Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku, sekira 15 ribu orang Indonesia meninggal akibat aksi militer tentara Inggris tersebut.

Dari pihak Inggris sendiri diperkirakan 1200 prajurit gugur (termasuk dua brigadier) dan ratusan lainnya hilang atau melakukan aksi pembelotan ke kubu lawan.

Dalam catatan Inggris sendiri, Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat pasca Perang Dunia II. Dalam surat kabar New york city Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menjuluki 'The Battle of Soerabaja' sebagai 'snake pit', neraka harsh dan menyeramkan dalam hikayat Divine Funny yang dikarang penyair Dante Alighieri.

Palmos menyatakan keterlibatan Inggris di Indonesia pasca menyerahnya Jepang merupakan suatu 'kecelakaan'. Itu terjadi selain adanya sikap meremehkan pihak Inggris terhadap daya juang orang-orang Indonesia, juga karena kecerobohan pihak intelijen Belanda yang memberikan informasi keliru sekitar situasi Indonesia pasca berakhirnya Perang Dunia II.

Heroisme Pertempuran Surabaya berpengaruh besar kepada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di beberapa titik wilayah Jawa lainnya, tentara Inggris harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang tak kalah sengit dari Surabaya.

Dalam buku The Fighting Dick, Being the Tale of the 23rd Indian Division 1942-1947 karya Latnan Kolonel A.J.F. Doulton, dilukiskan bagaimana tentara Inggris yang sejatinya sudah lelah berperang harus bekerja keras kembali menghadapi orang-orang Indonesia di Semarang, Ambarawa, Batavia, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Ciranjang dan Bandung serta beberapa tempat di wilayah Sumatera.

"Kami seolah harus memasuki sebuah gudang mesiu yang siap meledak,"ujar Doulton.

Pihak Inggris mulai mencari jalan keluar. Pada 15 November 1946, Lord Killearn, Komisioner Istimewa di Asia Tenggara (1946-1948) yang pernah ditugaskan secara khusus oleh pemerintah Inggris menyelesaikan persoalan-persoalan Inggris di Indonesia, menulis di buku hariannya bahwa membiarkan tentara Inggris bercokol lebih lama di Indonesia adalah suatu tindakan bunuh diri.

"Jalan bijak yang harus kita ambil adalah meninggalkan tempat itu secepat mungkin ..."tulis Killearn seperti dikutip Palmos dalam bukunya.

Mulai Mei 1946, tentara Inggris secara berjenjang menyerahkan kekuasaannya atas Indonesia kepada Belanda yang diwakili NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) pimpinan H.J. van Mook.

Akhir 1947, seperti yang disarankan Killearn, mereka sepenuhnya angkat kaki dari Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok. Begitu juga tentara Australia yang sebelumnya ditugaskan di Kalimantan dan Sulawesi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengetahui Kisah Sejarah Guillotine, Alat Pengal Kepala Manusia Untuk Eksekusi Mati

Mengetahui Kisah Kehidupan Warga Surabaya Pada Tahun 1850 an, Belum Ada Penerangan Jalan