Mengetahui Sejarah Atjeh Bioscoop, Merupakan Bioskop Pertama di Aceh

Jakarta - Cikal bakal bioskop di Aceh dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda berkuasa. Namanya Atjeh Bioscoop, satu-satunya pusat tontonan film-film Eropa. Pada masa kekuasaan Jepang namanya diubah menjadi Eiga Heikyusya, yang pasca-kemerdekaan dikenal sebagai Garuda Theater, kini menjadi Gedung Digital Inovation Lounge (DILo) atau kerap disebut IT Learning Centre.

Atjeh Bioscoop dibangun oleh Belanda di sisi barat Taman Vredespak yang kini dikenal sebagai Taman Sari Bustanussalatin, atau di sisi utara Esplanade Koetaradja yang sekarang dinamai Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Tak ada catatan sejarah, kapan tanggal pasti bioskop tertua di Aceh itu pertama kali dibangun. Perkiraannya dalam rentang tahun 1890-- 1900.

Di antara Vredespak dan Esplanade Koetaradja, sekelilingnya merupakan bangunan perkantoran dan perumahan elite pejabat kolonial Belanda dari kalangan Eropa. Malah, untuk mendukung Atjeh Bioscoop sebagai pusat hiburan, di sisi timur Vredespak juga dibangun Juliana Club, tempat bermain musik, pertunjukan dramatization, dan pesta dansa digelar oleh kalangan elite masa itu.

Sementara untuk pejabat kolonial rendahan, serta para serdadu bayaran, mereka mempunyai tempat hiburan tersendiri di sisi selatan Vredespak, dan Esplanade Koetaraja, sebuah tempat kumuh bekas kebun tebu yang dibangun seorang Yahudi bernama Bolchover, menjadi tempat hiburan dan lokalisasi, dikenal sebagai kebun dan tempat seks bebas.

Saat itu, tempat hiburan yang terbuka untuk umum hanya di Pantai Ceureumen, Ulee Lhee. Di sana dibangun tempat pemandian dan kios-kios makanan. Ketika nyonya-nyonya Eropa bertamasya ke sana, sering diadakan pertunjukan musik oleh Atjeh Band, meski namanya Aceh, tapi pemain musiknya merupakan para perwira Eropa. Atjeh Band ini juga sering mengiringi pesta dansa di Juliana Club.

Hanya pertunjukan sirkus dari Team Sirkus Komedi Kuda Harmston, satu-satunya pertunjukan ala Eropa yang bisa dinikmati sebagai hiburan oleh masyarakat pribumi di Aceh. Grup ini berkedudukan di Sigli, Kabupaten, Pidie, tapi sering tampil di Koetaraja (Banda Aceh).

Kembali ke Atjeh Bioscoop, ketika kekuasaan kolonial Belanda beralih ke Jepang, namanya diganti menjadi Gedung Eiga Heikyusya. Namun pada masa Jepang, perannya sebagai gedung pertunjukan telah berganti jadi gedung pertemuan.

Salah satu pertemuan paling bersejarah di Eiga Heikyusya adalah ketika rakyat Aceh mendesak Jepang untuk menyerahkan kekuasaan kepada Residen Aceh yang dipimpin oleh Teuku Nyak Arief. 

api, Jepang bersikukuh akan menyerahkan kekuasaannya kepada Sekutu. Tapi karena Sekutu tidak pernah bisa masuk ke Aceh, kekuasaan Jepang akhirnya dilucuti rakyat Aceh. Pada 19 Agustus 1945 berlangsung rapat di Eiga Heikyusya antara pimpinan pemuda Aceh dengan pejabat tinggi Jepang, S Masubuchi.

Dalam rapat itu S Masubuchi sebagai pemimpin Fujiwara Kikan menjelaskan bahwa dirinya sebagai 'pecinta Aceh' akan menggembleng para pemuda untuk melawan Sekutu, dan kekuasaan Jepang akan diserahkan kepada rakyat Aceh dalam waktu tidak lama, ia menyebutnya dengan kalimat 'sebelum jagung berbuah'.

Namun, para pemuda Aceh yang telah membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu, menolak semua hal yang disampaikan petinggi Jepang. Akibatnya, banyak perwira Jepang yang kemudian bunuh diri (harakiri) di Aceh.

Salah satunya, pemimpin Kolonne V, yang menembak kepalanya sendiri dengan pistol di rumah dinasnya di Neuseu. Sejarawan Aceh, Teuku Alibasyah Talsya, dalam buku 'Batu Karang di Tengah Lautan', yang diterbitkan Lembaga Sejarah Aceh (LSA) tahun 1990, mengungkapkan saat itu meski kekuasaan Jepang sudah hancur di Aceh, pada 14 Oktober 1945.

 Residen Jepang (Chokang) di Aceh, Syozaburo Iino, mengumpulkan sisa-sisa tentara Jepang di Esplanade Koetaradja, karena insiden anti Jepang semakin meluas. Hari itu Gedung Eiga Heikyusya sudah dikuasai oleh pemuda Aceh. Jarak antara konsentrasi tentara Jepang dengan Gedung Eiga Heikyusya tak sampai 100 meter.

Di gedung itu ribuan rakyat Aceh yang dimotori oleh Teuku Nyak Arief, selaku Residen Aceh, bersama Teungku Muhammad Daod Beureueh, dan Tuanku Mahmud dari Komite Nasional Aceh melakukan show of pressure untuk menekan pemerintah Jepang yang kekuasaannya sudah tak lagi berjalan di Aceh.

Sehari kemudian, 15 Oktober 1945, Kepala Pemerintah Jepang (Chokang) di Aceh, Syozaburo Iino, menyerahkan kekuasaanya kepada rakyat Aceh melalui Residen Aceh, Teuku Nyak Arief. Dalam masa kemerdekaan, nama Gedung Eiga Heikyusya diubah menjadi Garuda Theater.

Pada malam 15 Juni 1948, di Garuda Theater ini Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir Sukarno, menyampaikan pidato politik tentang revolusi nasional di hadapan pejabat sipil dan militer, tokoh masyarakat, dan pemuda Aceh. Seiring perkembangan film Indonesia, beberapa bioskop tumbuh di Banda Aceh dan seluruh Aceh.

Sehari kemudian, 16 Juni 1948, Presiden Sukarno membakar semangat perempuan Aceh melalui pidato politiknya di Garuda Theater selama 2 jam, untuk aktif bergerak menumbangkan kapitalisme. Isi pidatonya bisa dibaca dalam buku 'Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh'. Buku ini diterbitkan oleh panitia penyambutan Presiden Sukarno di Aceh tahun 1948.

Selanjutnya, Garuda Theater berfungsi sebagai bioskop yang mempersembahkan film-film terbaru Indonesia dan luar negeri. Tempat itu juga kerap memutar film-film produksi pemerintah, melalui Departemen Penerangan Republik Indonesia kala itu, maupun film-film dokumenter sejarah perjuangan Indonesia.

Pasca-musibah gempa dan tidal wave yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004, bioskop pertama di Aceh itu kemudian dibangun menjadi Gedung IT Learning Centre oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Maka, transformasi Atjeh Bioscoop menjadi Eiga Heikyusya yang berubah menjadi Garuda Theatre, berakhir menjadi Gedung IT Learning Centre.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengetahui Kisah Sejarah Guillotine, Alat Pengal Kepala Manusia Untuk Eksekusi Mati

Mengetahui Kisah Kehidupan Warga Surabaya Pada Tahun 1850 an, Belum Ada Penerangan Jalan

Kisah Akhir Dari Pertempuran Inggris di Surabaya