Postingan

Kisah Ciri Khas Dari Jenderal Gatot Soebroto

Jakarta - Karena makian khas-nya, hingga kini tak ada seorang pun perwira tinggi TNI yang bisa menyamai keeksentrikan Letnan Jenderal Gatot Soebroto . Suatu hari di tahun 1960-an, Dasaad dan Hasyim Ning diundang makan pagi oleh Letnan Jenderal Gatot Soebroto di kediamannya. Begitu duduk di meja makan, Gatot yang memang sudah akrab dengan kedua pengusaha nasional itu tanpa basa-basi langsung menyampaikan maksud. "Tuan-tuan berdua aku undang, karena aku mau minta bantuan ...". "Bisa kita makan dulu? Ngomong soal bantuan lebih baik bila kami sudah kenyang, Jenderal,"potong Hasyim Ning, agak menggoda. "Jangan kaget. Aku tidak minta duit lu, monyet,"jawab Gatot. "Biar tidak minta duit, kalau bicara sebaiknya habis makan. Kan kami diundang ke sini buat makan pagi,"ujar Hasyim. "Iya, iya, iyalah ..."jawab Gatot lagi seperti tersua dalam otobiografi Hasyim Ning, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (disusun oleh A.A. Navis). Menuru

Jurnalis Perang Yang Menceritakan Kisah Tentang Revolusi Indonesia

Jakarta - Sebagai salah satu pusat konflik kala itu, Indonesia banyak didatangi para pemburu berita dari seluruh dunia. Tulisan panjang itu bisa jadi merupakan salah satu laporan terbaik sepanjang zaman dari majalah National Geographic (NG). Adalah jurnalis Ronald Stuart Kain yang sejak awal 1948 meliput gejolak perang di tanah Jawa. Dalam coretan penanya di majalah NG edisi 93 (Mei 1948), dia memaparkan detil-detil perang antara pejuang Indonesia melawan para serdadu Belanda. Begitu memukau. Dengan deskriptis, Kain menuliskan juga latar belakang situasi sosial politik yang terjadi. Suasana revolusioner dan kecamuk perang pun tak dilewatkannya: para pengungsi yang berdesakan di kereta api, para anggota lasykar berambut gondrong yang hilir mudik di stasiun - stasiun kereta api, serta keluhan para serdadu muda yang muak akan perang dan rindu kampung halaman. Rosihan Anwar pernah memuji Kain sebagai jurnalis yang rajin memunguti serpihan-serpihan kisah di balik Perang Kemerde

Kisah Akhir Dari Pertempuran Inggris di Surabaya

Jakarta - Meleset jauh dari target yang sudah ditetapkan, tentara Inggris baru bisa penuh menguasai Surabaya setelah 23 hari bertahan dalam "neraka" yang panjang. Surabaya sungguh tak berbentuk di awal Desember 1945. Keadaan kota porak-poranda, mayat-mayat manusia bercampur hewan bergelimpangan di mana-mana. Bau mesiu tercium menyengat bersanding dengan bau busuk dan aroma asap gedung-gedung terbakar. Di bawah langit yang berwarna kelabu kemerah-merahan, pasukan infanteri Inggris bergerak lambat. Mereka tak berani gegabah lagi untuk melangkahkan kaki. " Pejuang Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran ...,"ungkap Mayor R.B. Houston dari Batalyon Gurkha Rifles ke-10 dalam What Taken place in Java; Background of the 23rd Division. Sebagian besar pasukan Indonesia memang sudah mundur ke batas kota. Namun demikian situasi keamanan di kota tersebut belum sepenuhnya p

KIsah Sejarah Buaya Pemakan Manusia di Palu Yang Dibunuh Warga Jerman Dengan Peluru Emas

Jakarta - Buaya yang hidup di Sungai Palu, Sulawesi Tengah, menyimpan banyak cerita sejarah . Salah satu sejarah yang kini terekam di memori warga Suku Kaili, penduduk asli Lembah Palu, Sulawesi Tengah, adalah pembunuhan seekor buaya ganas dan berukuran besar yang menerkam seorang penambak pasir di Sungai Palu. Tossi Fischer adalah si penembak buaya itu. Ia dan ayahnya, John Fischer, adalah warga negara Jerman. Mereka membunuh buaya itu dengan peluru emas di Kampung Baru, tepatnya di Jembatan III Palu sekitar tahun 1957. Buaya besar yang dibunuh itu kemudian dibelah dan didapati potongan-potongan manusia di dalam isi perutnya. Setelah kejadian pertama itu, warga kemudian menghentikan aktivitasnya di Sungai Palu. "Semenjak itu sampai saat ini cerita buaya makan orang itu adalah terakhir dan hingga sekarang tidak pernah lagi ada cerita buaya makan manusia lagi,"kata Koordinator Komunikasi Historia Sulteng, Moh Herianto kepada PaluPoso, Jumat (28/2). Tahun 1957 hingg

Mengetahui Kisah Sejarah Guillotine, Alat Pengal Kepala Manusia Untuk Eksekusi Mati

Jakarta - Sejarah alat penggal kepala manusia, atau lebih dikenal dengan disebutan guillotine, diketahui terakhir kali digunakan sebagai alat eksekusi mati pada 10 September 1977 di Prancis. Korban terakhir dari alat tersebut adalah Hamida Djandoubi, imigran asal Tunisia yang menjadi terlibat aksi pembunuhan. Hamida dieksekusi di Penjara Baumetes, Marseille, Prancis. Guillotine sendiri meraih puncak ketenaran pada masa-masa Revolusi Prancis (1789 - 1799). penamaan guillotine sendiri dinamai sesuai nama ahli fisika asal Prancis, Joseph-Ignace Guillotin, sebagai pengusul penggunaan alat untuk eksekusi mati terebut. Sebagai catatan, Guillotin bukanlah sosok penemu dari alat eksekusi mati tersebut. Bahkan, dalam biografinya tertulis jika ia mengatakan bahwa dirinya sangat menentang hukuman mati. Guillotine justru ditemukan oleh Antoine Louis. seorang dokter bedah yang berasal dari Metz, Prancis. Munurut sejarahnya, alat eksekusi serupa sudah digunakan di Irlandia dan Inggri

Mengetahui Kisah Kehidupan Warga Surabaya Pada Tahun 1850 an, Belum Ada Penerangan Jalan

Jakarta - Kisah sekitar tahun 1850-an, belum ada penerangan jalan di Kota Surabaya. Tak heran, jika pada malam hari warga kota berdiam diri di rumah. Pasalnya, di luar rumah pun tak ada apa-apa saat malam hari. Saat itu, jika orang Belanda ingin pergi ke suatu pertemuan, ia menyuruh budaknya berjalan mendahuluinya dengan membawa lampu untuk menerangi jalan sang majikan. Sementara itu, orang-orang pribumi yang hendak keluar malam biasanya membawa sendiri obor untuk menerangi jalannya. Lampu Ublik Pada tahun 1858, Pemerintah Belanda di Surabaya memasang penerangan jalan berupa lampu-lampu ublik yang menggunakan bahan bakar minyak kelapa. Operasional penerangan jalan di Kota Surabaya diserahkan kepada pemborong Cina dengan biaya 239 gulden dalam satu bulan. Di samping bayaran tersebut, sang pemborong juga mendapat bantuan tenaga manula. Saat itu, ada 20 orang manula yang dipekerjakan sebagai tenaga operasional penerangan jalan. Pekerjaan tersebut merupakan bentuk hukuman l

Mengetahui Kisah Sejarah Benteng Oranye

Jakarta - Fort Oranje atau Benteng Oranye merupakan salah satu Benteng yang berada di atas Bukit Arang Desa Dambalo, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Gorontalo. Benteng Oranye ini diduga buatan bangsa Portugis pada abad ke-15. Lokasi benteng berjarak sekitar 61 kilometer dari Kota Gorontalo, atau dua kilometer dari pusat pemerintahan Gorontalo Utara. Sesampainya di lokasi, pengunjung harus menaiki ratusan anak tangga untuk bisa berada di titik situs Benteng Oranye. Menurut salah seorang Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo, Buhanis Ramina, keberadaan benteng ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1527. Benteng merupakan awal kedatangan bangsa Portugis ke wilayah Gorontalo. Tujuan pembangunan benteng ini pun sebagai alat pertahanan dan mengontrol jalur pelayaran. Karena dulu, menurut Buhanis, wilayah perairan Sulawesi menjadi target utama perampokan bahan-bahan rempah yang dicuri oleh bangsa kolonial. "Jika dilihat dari lokasinya di pin